posting pertama...
sebuah cerpen, yang dapat menaklukan air mata quu...
untukmu,,sobat!
SEPERTI SEBERKAS CAHAYA LILIN
Langit masih tertutu mendung. Bunyi tak-tak-tak dari dinding itu adalah satu-satunya hal yang mengusik lamunan Tira. Suasana bening itu membuatnya semakin tidak bias melepaskan ingatannya dari Citra, sahabat yang sudah seperti kakaknya sendiri. Dia terus merenung dan perasaaan bersalah selalu menggelayutinya, kekesalannya pada Citra membuat darahnya mendidih. Tiba-tiba hujan turun, Tira semakin kalut, pikirannya semakin tidak karuan. Terkadang dia merasa menyesal kenapa harus kenal dengan Citra.
Lamunan Tira buyar ketika mendengar pintu rumahnya diketuk dengan keras. Saat ia membuka pintu, betapa terkejutnya dia saat pintu dibuka ada Citra di situ, basah kuyup, dan gadis itu tersenyum manis. Hanya tersenyum! Tira pun menggelengkan kepalanya.
“Cepat masuk, di luar dingin!” perintah Tira sambil menarik lengan Citra. Namun Citra tak bergerak dan hanya menggelengkan kepalanya. “Dasar bandel, masuk cepat!” Tira emosi, amarahnya keluar setelah melihat tingkah laku Citra yang demikian.
“Tira, Citra gak bisa lama-lama, Citra kesini cuma mau minta maaf dan ngesih sesuatu”. Akhirnya Citra mengeluarkan suaranya sambil mengulurkan bungkusan dilapisi tas plastic berwarna kecoklatan.
“Ya, udah tapi kamu masuk dulu Citra” Tira pun jengkel.
“Tira, Citra harus pergi. Papa cItra udah nungguin di depan. Tira jaga diri ya! Citra pasti kangen ma Tira” papar Citra sambil menintikkan air mata. Namun, Tira tak menyadarinya karena air mata itu bercampur dengan air hujan yang mengalir di pipi merah muda Citra.
“Ah Citra, ini apa lagi? Mau kemana sih, udah, ajak aja papamu masuk!” begitu pinta Tira. Citra menggelng dan lalu tiba-tiba Citra memeluk Tira, air matanya mengalir deras. Ini kali pertama Tira mendengar isak tangis Citra dipundaknya. Biasanya Citra adalah sosok yang cukup dewasa untuk gadis piatu seusianya. Tira lebih kaget lagi karena tiba-tiba Citra lari meninggalkannya.
“Citra……….!” Teriaknya keras. Pikiran Tira semakin tidak karuan. Bayangan buruk mulai melayang – laying, jantungnya berdegup tidak beraturan. Tira slalu mencoba untuk menghubungi Citra, namun itu sia-sia, ponsel Citra sama sekali tidak aktif.
Sudah lebih 3 minggu kabar dari Citra tak kunjung dating. Setiap hari pikiran Tira tak lepas pada sebuah nama “CITRA”. Ia teringat pada saat hubungannya dengan Citra memburuk, saat itu di depan sebuah tempat bimbingan belajar. Citra yang biasanya hanya mau pulang berdua dengan Tira namun hari itu ia bergegas pergi dan meninggalkan Tira tanpa pamit. Kecurigaan yang mendalam, memaksa Tia untuk mengikuti Citra dari belakang. Citra berjalan kearah suatu tempat yang sepi tanpa penghuni. Sutau pemandangan yang tak terduga mencabik-cabik hati Tira yang sudah terlampau member kepercayaan lebih pada sahabatnya. Ia melihat Citra sedang menghisap sebatang rokok bersama 4 orang yang tak dikenal oleh Tira. Yang parahnya lagi, mereka hamper menghisap isi kaleng yang tak Tira tahu apa isinya, tapi Tira yakin itu bukan benda baik. Langsung saja, dengan hati penuh kecewa Tira memenggil nama Citra dengan penuh amarah.
Citra hanya bisa kaget dan berusaha untuk menjelaskan apa yang telah terjadi. “Puas kah dirimu Citra, tak ada yang perlu dijelaskan! Semua yang kulihat itu cukup!” air mata tak terbendung dari mata seorang sahabat yang dikhianati. Mulai dari detik itu semua berubah. Persahabatn Tira berubah drastic bagai ombak yang bergulung di Samudera. Tapi, emosi tak mampu mengalahkan rasa kangen Tira terhadap perhatian Citra. Citra lah yang slalu mengingatkan Tira untuk makan siang. Kalaupun Tira tidak makan, Citra sama sekali tidak marah, ia Cuma mengatakan “ya udah, gak apa-apa tapi nanti jangan lupa makan ya ra!”
Tira terbangun dari lamunannya, ia terus melihat ponselnya berharap kabar dari Citra memenuhi kotak masuk di ponselnya. Tiba-tiba ponsel Tira bergetar.
“Halo!” sahut Tira cepat. “Tira,ini mama, kamu yang tabah ya nak!” tangisan mama membuat pikiran Tira melayang-layang. “Ada apa ma ? Mama kenama? Apa ada yang sakit? atau?”Tira terdiam ketika suara tangisan mengeluarkan nama Citra. “Citra Tira, Citra sudah dahulu meninggalkan kita. Kamu yang sabar ya nak’ tanpa sadar air mata Tira menitik, ponsel di tangannya jatuh. Dia merasa marah dan benci sekali pada dirinya sendiri. Dia menyumpahi dirinya, dia menyumpahi kebodohannya karena tidak tahu bahwa sahabatnya sendiri mengidap kanker hati stadium akhir. ‘ya tuhan, adilkah engkau dengan member cobaan seberat ini?” Tira menahan dirinya untuk tidak bertindak melampaui batas.
Hingga bungkusan plastic kecoklatan Citra tampak di balik meja kecil di sudut ruangan kamar Tira. Tira membuka bungkusannya dan ternyata isinya sebuah buku, buku yang menceritakan kisah persahabatn “Seven Minutes of Friendship”.
Tira membuka halaman pertama, di ditu ada selembar kertas.
Assalamu’alaikum wr.wb
Tira, tadi Citra bikin kue kata teman-teman seih enak benget dan mereka slalu kangen dengan kue buatan Citra. Tapi sayangnya, kamu belum nyicip kan! Tira, Citra minta maaf atas semua prilaku Citra tapi yakinlah Citra hanya terbawa arus pergaulan yang menjebak. Citra juga minta maaf karena Citra tiba-tiba pergi begitu saja. Citra pengen ngucapin terima kasih karena Tira bisa menjadi keluarga selama bersama Citra. Di manapun Citra berada Tira akan selalu berada di hati Citra, selalu dan selalu. Citra sekarang percaya ternyata Citra tidak sendiri. Tira tahu tidak, kalau mungkin dulu saat di surge selalu bermain bersama-sama, hanya saja Tira diturunkan lebih dulu, lalu kita bertemu dalam situasi yang berbeda di dunia ini. Citra akan nungguin Tira buat main lagi di sini tanpa beban.
Ok, waktunya Citra pergi, jaga diri ya ra!
O iya besok jangan lupa makan siang ya…
Wassalam.
Tira memeluk buku itu, menangisi kepergian Citra. Dia merasakan kehilangan yang teramat dalam. Ia baru menyadari kalau ternyata Citra melebihi bagian jiwanya. Hujan turun lagi dan malam terus merangkak. Udara dingin malam itu menusuk tulang. Tira masih terbayang wajah Citra yang dibasahi air hujan, memeluknya sambil menangis terisak dan itu yang membuat hati Tira hancur.
•••
Sore itu di pusara Citra, Tira ditemani orangtuanya masih enggan meninggalkan tempat itu dan seolah tidak mau meninggalkan Citra sendirian.
“Kita pulang yuk!” Sahut orangtua Tira yang menunggunya di depan mesjid yang tak jauh dari orangtua Citra. “Tira di sini bentar ya pa!”. “Ayolah, mungkin ini yang terbaik untuknya, dia anak baik pasti mendapatkan tempat yang baik di sana” papar orangtua Tira sambil merangkul bahunya.
Langit mulai gelap dan angin bertiup semilir membelai setiap helai rambut Tira. Tira meninggalkan makan Citra dengan derai air mata.
“Aku bukan jagoan Citra, tapi aku selalu menangis karena kepergianmu. Aku memang bisa hidup di mana saja, tapi kehilanganmu akan membuat keidupanku sepi. Siapa lagi yang akan ku telfon saat aku memperoleh berita bagus pertama kali, siapa juga yang akan mengirimiku SMS setiap pagi yang berisi falsafah hidup itu?”.
•••
Mmmm… kita sering tidak menyadari kehadiran seseorang yang sebenarnya selama ini kita harapkan sampai akhirnya dia benar-benar pergi. Seperti seberkas cahaya lilin, kita akan bisa melihatnya jika hari sudah cukup gelap. “persahabatan mungkin tak abadi di dunia tapi ingatlah ia akan selalu abadi di hati”.(
Lododpink)